Refleksiku
Belajar dari Orang Desa
Saat aku tahu bahwa aku akan di tempatkan di desa Porot, aku merasa takut karena aku belum mengenal betul tempat apa yang akan aku datangi itu. Bahkan, aku baru kali itu mendengar kata “Porot”. Aku pun merasa cemas karena teman-temanku mengatakan bahwa desa Porot adalah desa yang “paling desa” dari semua desa tempat teman-temanku yang lain ditempatkan untuk melaksanakan kegiatan Live-In yang diadakan oleh SMA Sedes Sapientiae Bedono pada tahun ajaran 2010-2011. Ditambah lagi, aku sama sekali belum mengenal orang yang akan tinggal satu rumah denganku. Kecemasan dan ketakutanku pun kian bertambah.
Setelah sampai di Porot, aku merasa senang karena aku merasa si pemilik rumah begitu baik dan menyambut kedatanganku dengan senang hati. Awalnya memang canggung karena aku tak mengenal mereka sebelumnya, namun lama kelamaan aku bisa beradaptasi dengan keluarga pemilik rumah itu dan aku merasa senang bisa mengenal keluarga tersebut.
Dari pengalamanku selama Live-In di desa Porot bersama sebuah kelurga yang aku diami (sebut saja keluarga Pak Wartoyo), aku dapat mengambil nilai-nilai yang sekiranya patut untuk dijadikan bahan perenungan bagi aku pribadi, maupun mungkin bagi kita bersama.
Membuat Opak
Saat tiba di rumah Pak Wartoyo, aku melihat istri Pak Wartoyo (Ibu Yokebet) tengah merebus singkong dengan menggunakan tungku. Aku penasaran dan bertanya untuk apa singkong itu. Lalu Bu Yokebet menjawab bahwa singkong itu nantinya akan dibuat opak. Lalu aku mengikuti langkah-langkah membuat opak tersebut. Saat singkong yang sudah direbus itu ditumbuk dan membentuk seperti adonan opak, adonan tersebut digiling menggunakan kayu agar menjadi lempengan-lempengan opak yang kemudian dicetak dan dijemur.
Saat melihat Bu Yokebet menggiling adonan-adonan opak itu, aku merasa pekerjaan itu sangat mudah. Lalu aku mencobanya. Namun, apa yang aku pikirkan ternyata tak semudah kenyataannya. Bahkan aku sungguh kesulitan karena buatanku selalu gagal dan memerlukan waktu yang lama. Dalam waktu kurang dari 1 menit, Bu Yokebet mampu membuat 2 lempengan opak. Sementara aku, waktu 5 menit pun masih tak menghasilkan 1 lempeng opak pun. Hasil gilinganku selalu tak berbentuk. Bahkan saat aku sudah berusaha keras dan berhasil menggiling adonan opak itu, aku masih saja gagal karena tak mampu mencetak opak itu dengan baik. Saat aku sudah berhasil menggiling dan mencetak adonan opak itu, aku kembali merasa gagal saat harus mengambil adonan yang sudah di cetak itu untuk lantas ditaruh di bambu yang dibuat khusus sebagai tempat untuk menjemur adonan opak yang sudah dicetak. Tak jarang aku harus mengulang menggiling lagi karena saat aku sudah berhasil menggiling dan mencetak adonan itu dengan sangat baik, aku gagal saat hendak mengambil adonan yang sudah dicetak itu.
Dari pengalaman membuat opak ini, aku mendapat pelajaran penting bahwa untuk mencapai suatu tujuan, diperlukan usaha agar tujuan itu dapat tercapai. Semua tujuan tak akan mungkin terwujud bila tidak disertai dengan doa dan usaha untuk mewujudkan tujuan itu. Singkatnya, bila aku ingin naik kelas, aku harus berusaha agar aku bisa naik kelas. Bagaimana caranya? Dengan belajar tekun, memperdalam materi yang masih belum aku mengerti, memanfaatkan waktu untuk hal-hal positif, dan masih banyak lagi usaha yang bisa dilakukan untuk mewujudkan tujuan (missi) tersebut. Tak lupa pula, aku harus berdoa dan berserah pada Tuhan. Berserah bukan berarti diam tanpa melakukan apapun. Berserah adalah melakukan apa yang bisa kita lakukan, dan biarkan Tuhan melakukan apa yang menjadi bagianNya.
Hidup Sederhana
Selama Live-In, aku tak bisa makan seenakku sendiri karena aku tahu dan aku sadar betul bahwa aku sedang menginap dirumah orang. Segala makanan yang disediakan oleh pemilik rumah, harus aku makan sebagai bentuk penghormatanku kepada mereka karena telah menyediakan makanan dan tempat tinggal untukku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk memakan apa yang disediakan keluarga tersebut meskipun sebenarnya aku tak suka dengan makanan yang disediakan.
Pernah suatu ketika saat makan malam, aku disediakan nasi dengan lauk tahu bacem saja, tanpa ada lauk lain. Jujur, melihatnya saja aku sudah malas, apalagi memakannya. Tapi karena perutku sudah sangat lapar, aku makan nasi dan tahu itu dengan perasaan sedikit terpaksa. Setelah selesai makan, akupun masih tak percaya, apa aku tadi sungguh makan nasi dan tahu atau aku hanya bermimpi. Aku bahkan sempat kecewa dengan lauk yang disediakan. Aku sempat berpikir, “Apa ini?! Cuma nasi dan tahu?! Sudah lapar begini, begitu diberi makan, yang muncul hanya tahu bacem!!”.
Namun kini aku sadar, bahwa makanan enak dan mahal itu tak menjamin kesehatan seseorang. Buktinya, banyak orang yang setiap hari makan makanan enak dengan harga selangit, namun kenyataannya menderita penyakit kolestrol karena terlalu sering makan makanan yang banyak mengandung minyak, seperti ayam goreng. Sementara mereka yang makan makanan yang sederhana, mereka tetap sehat dan bahkan meski sudah berusia tua, mereka masih tetap sehat dan masih mampu melakukan aktivitas sehari-harinya dengan baik. Dan 1 lagi fakta yang membuatku sadar, bahwa ternyata mereka yang makan makanan sederhana pun “masih tetap hidup” meski mereka tak makan makanan yang mahal.
Dari sini aku belajar untuk hidup sederhana. Aku belajar untuk tidak memboros-boroskan uang hanya untuk hal-hal yang tak berguna. Sekarang aku sadar, untuk apa membeli makanan yang mahal, toh akhirnya masuk ke closet juga. Kesehatan bukan didapat dari harga makanan yang selingit tingginya, tapi dari kandungan gizi yang terkandung didalam makanan yang kita makan.
Harta Bukanlah Segalanya
Awalnya aku berpikir bahwa orang yang tak memiliki uang, adalah orang yang tidak pernah berbahagia. Termasuk orang desa. Awalnya aku menganggap orang desa tak akan pernah merasakan kebahagiaan karena aku berpikir bahwa mereka adalah kelompok orang-orang yang selalu kekurangan dalam hal ekonomi. Namun ternyata anggapanku salah. Salah besar. Orang desa ternyata juga mampu merasakan kebahagiaan, bahkan lebih bahagia dari kita yang bergelimang harta, meski mereka tak punya cukup uang untuk melakukan dan membeli hal-hal yang kita anggap mendatangkan kebahagiaan.
Kini aku menyadari uang bukanlah segalanya. Kini aku mengerti bahwa kebahagiaan seseorang tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, tetapi dari seberapa banyak rasa untuk mau mensyukuri setiap hal yang dimilikinya. Ketika kita memiliki segalanya, namun kita merasa tak pernah puas dan tidak memiliki hati yang mau bersyukur, sekaya apapun kita, sesukses apapun kita, sepintar apapun kita, bahkan setenar apapun kita, kita tak akan pernah mendapat arti kebahagiaan. Karena kita selalu berusaha untuk mendapatkan lebih, lebih dan lebih, tanpa mau bersyukur atas apa yang kita miliki. Namun ketika kita mau mensukuri segala sesuatu yang kita miliki, sekecil apapun itu, maka kita akan mendapatkan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena kebahagiaan yang sesungguhnya hanya akan kita dapat ketika kita memiliki hati yang mau beryukur.
Itulah refleksi yang bisa dituliskan dari seorang gadis kecil yang belum tahu banyak tentang arti kehidupan. Aku sadar aku bukanlah penulis yang baik. Maka aku meminta maaf jika sekiranya ada ucapan yang tak layak dan mungkin menyinggung hati pembaca sekalian. Terimakasih telah membaca refleksiku. Semoga refleksi ini bisa menjadi berkat bagi kalian semua. Xie xie and God bless you... ^_^ v
Written by:
Cecilia Narwastu_XI Sos. 1
Desa Porot